Oleh : H. A. Halim Iskandar, M.Pd.Ketua DPRD Propinsi Jawa Timur serta Ketua DPW PKB Jawa Timur
H A Halim IskandarSebab jika semua ngalor (ke utara), perbedaannya intelektual dengan hansip, lantas apa ? (Gus Dur).
Di mana tawassuth tidak sematamata dimaknai moderatisme yang diam, tetapi tawassuth adalah jalan progresif yang aktif advokatif. Pola tawassuth tidak jadikan manusia untuk tukang vonis atas kelabilan negeri ini. Oleh karena itu, saat gurita konglomerasi Tionghoa masa Orde Baru membuncah, yang menimbulkan aksi diskriminasi serta pengucilan pada etnis Tionghoa.
Tibatiba, etnis Tionghoa jadi lawan buat beberapa golongan negeri ini. Bertambah tragis lagi, nuansa perseteruan akan makin hebat, bila etnis Tionghoa itu nonmuslim. Sebab dalam pikiran beberapa golongan intinya rakyat yang merasai aroma ketimpangan ekonomi, kekeliruan etnis Tionghoa dipandang telah berlipat ganda. Pada keadaan semacam ini, Gus Dur tampil kebalikannya.
Gus Dur malah jadi rekan buat etnis Tionghoa. Muslim yang sering jadi saksi hidup nilai Islam moderat yang tetap diperjuangkan supaya membumi.
Aksi Tionghoa yang cuman bergabung dengan sama-sama Tionghoa atau kawin cukup dengan sama-sama mereka tidak lain cuman bentuk partikularisme semata-mata. Eksklusivitas berasa menghangat oleh sebab etnis Tionghoa dibatasi gerak jalannya di luar daerah ekonomi. Di negeri ini, golongan pribumi dekat dengan khazanah Tionghoa yang sudah terpatri bukan untuk the other dalam momen kehidupan.
Cerita Laksmana Ceng Ho, Kyai Telingsing, serta Adipati Jinbun dalam kronik riwayat menghiasi pikiran warga banyak. Pernikpernik itu juga digugah Gus Dur dengan penyebutan analisis genealogisnya yang kosmopolit untuk turunan Tionghoa. Anehnya, publik non- Tionghoa berasa jika analisis itu cuman bermomentum sepihak buat etnis Tionghoa serta bukan etnis lain.